- Drs. Dame Siregar, M.A

 ULUMUL HADIST PERTEMUAN KETIGA

TBI 3

Pengertian Kritik Sanad,  Pengertian Kesohihan Sanad Sejarah Kritik Sanad

Metodologi Kritik Sanad

 

Pengertian Kritik Sanad

Menurut bahasa, kataتخريج  merupakan perubahan kata dariخرج- يخرج  atau dari kataاخرج . Kata tersebut berarti mengeluarkan, menerangkan maksud, menyelesaikan, dan berlatih. Men-takhrij hadis memang adalah suatu kegiatan untuk mengeluarkan hadis dari sumber asli. Takhrij hadis, juga sebagai langkah awal untuk mengetahui kuantitas jalur sanad dan kualitas seluruh sanad hadis. Menurut Mahmud Tahhan, takhrij adalah berkumpulnya dua persoalan yang bertentangan dalam suatu hal(اجتماعالأمرين المتضادين في شئ واحد) . Di samping itu, takhrij hadis dari segi bahasa juga mengandung arti mengeluarkan dari sumbernya (الاستنباط) , latihan (التدريب) dan menerangkan, menjelaskan duduk persoalan.

Pengertian takhrij hadis menurut istilah muhadditsin telah mengalami perkembangan yang signifikan sejalan dengan kemajuan ilmu hadis dan kebutuhan umat. Kegiatan takhrij hadis telah mengalami 10  pase perkembangan sesuai dengan abad di mana para Muhadditsin meneliti.

وَلَقَدۡ عَلِمۡتُمُ ٱلَّذِينَ ٱعۡتَدَوۡاْ مِنكُمۡ فِي ٱلسَّبۡتِ فَقُلۡنَا لَهُمۡ كُونُواْ قِرَدَةً خَٰسِ‍ِٔينَ ٦٥

65. Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina"

ثُمَّ أَنتُمۡ هَٰٓؤُلَآءِ تَقۡتُلُونَ أَنفُسَكُمۡ وَتُخۡرِجُونَ فَرِيقٗا مِّنكُم مِّن دِيَٰرِهِمۡ تَظَٰهَرُونَ عَلَيۡهِم بِٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِ وَإِن يَأۡتُوكُمۡ أُسَٰرَىٰ تُفَٰدُوهُمۡ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيۡكُمۡ إِخۡرَاجُهُمۡۚ أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ٨٥

85. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat

 

Contohnya

 

 

Pengertian Kesohihan Sanad

Kata kaidah bermakna : rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti, sebagai patokan dalil.[1]

Kata sohih secara bahasa berarti lawan dari sakit ضد السقم) ). Kata sohih juga telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia dengan arti : sah, benar, sempurna, sehat dan pasti[2].

Kata sanad dari bahasa Arab, yaitu :”سند. Yang berarti “المعتمد  sesuatu yang diperpegangi, penyandaran[3]. Dikatakan demikian karena matan bersandar dan berpegang pada sanad. Dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama hadis antara lain :

a.      Ajjaj al-Khatib, Jalur matan atau disebut dengan (طريق المتن) yakni rangkaian para perowi yang memindahkan matan dari sumber-sumbernya.[4]

b.      Mahmud at-Tahhan mendefenisikan bahwa sanad ialah rangkaian para perowi yang menghubungkan pada  matan.[5]

c.       M. Syuhudi Ismail mengatakan bahwa sanad ialah susunan rangkaian para periwayat.[6]

Dari beberapa pengertian di atas, kaidah kesohihan sanad dapat diartikan suatu rumusan yang dipakai untuk mengukur kebenaran atau keabsahan para perowi yang terdapat pada sanad. Tolak ukur keabsahan perowi tersebut terdiri dari lima kriteria, yaitu kebersambungan sanad, adil, dobith, tidak ada syaz dan `illat.

Ibnu Salah (w. 643 H) seorang  ulama yang berpengaruh besar pada masa dan sesudahnya merumuskan kaidah kesohihan sanad sebagai berikut :

الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل  الضابط  الى  منتهاه  ولا يكون  شاذا  ولا معللا[7]                                                                                                                                    

Adapun hadis sohih ialah hadis  yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat yang adil dan dobith  sampai akhir sanad). Di dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syaz) dan cacat (`illat)

Rumusan yang dikemukakan oleh Ibn as-Salah kemudian diringkas oleh an-Nawawi dan as-Suyuti dengan rumusan sebagai berikut :

مااتصل سنده بالعدل الضابط من غير شذوذ وعلة[8]       

Hadis  sohih ialah hadis  yang bersmbung sanadnya (diriwatkan oleh orang-orang) yang `adil dan dobith serta tidak terdapat (di dalam hadis  itu) kejanggalan (syaz) dan cacat (`illat).

Demikianlah antara lain kaedah kesohihan sanad hadis yang disepakati mayoritas ulama hadis yang kemudian dijadikan sebagai acuan umum untuk menguji dan menentukan kualitas suatu hadis .

Dari rumusan yang dikemukakan di atas ditarik kriteria kaedah kesohihan sanad hadis terdiri dari lima macam. Kelimanya terdapat pada kesohihan sanad dan dua terakhir merupakan  acuan kesohihan matan dengan cara membandingan matan itu sendiri. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam pembahasan dalam buku- buku  kritik matan  . Adapun lima kriteria kesohihan sanad tersebut adalah :

a.      Sanad (periwayat hadis ) bersambung mulai dari mukharrijnya (penghimpun hadis biasa disebut perowi hadis terutama yang  Kutub9  at-Tis’ah) sampai kepada Nabi.

  1. Para periwayat bersifat adil
  2. Para periwayat bersifat dobith.
  3. Sanad hadis  tersebut terhindar dari syaz
  4. Sanad hadis  terhindar dari ‘illat.

Keterhindaran dari syaz dan ‘illat dalam kriteria kaedah kesohihan di atas juga merupakan kriteria kesohihan matan. Oleh karena itu ulama hadis  pada umumnya mengatakan bahwa hadis  yang sohih sanadnya, belum tentu matannya sohih, demikian juga matan yang sohih belum tentu sanadnya sohih.[9] Jadi kesohihan sesuatu hadis  tidak hanya ditentukan oleh kesohihan sanadnya saja, melainkan juga ditentukan kesohihan matannya.

Hadis yang dinilai sohih apabila memenuhi kelima kriteria kesohihahan hadis. Untuk memperjelas pengertian kaedah-kaedah tersebut para ulama hadis  telah memberikan batasan-batasan sebagai berikut :

a.      Keadaan sanad bersambung

Yang dimaksud sanad bersambung adalah tiap-tiap perowi yang menerima hadis  dari perowi lain yang terdekat sebelumnya. Keadaan periwayatan itu bersambung sampai akhir sanad hadis.[10] Jadi seluruh rangkaian perowi dari mukharrij (pengumpul hadis) sampai perowi yang menerima hadis  dari Nabi bersambung dalam periwayatannya.

Untuk mengetahui persambungan sanad tersebut adalah dengan cara menelaah biografi perowi serta metode yang digunakan dalam proses periwayatannya. M. Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa sanad hadis  yang dapat dikatakan bersambung apabila :

  1. pertama, seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqah (adil dan dobith) dan menggunakan sighot atau lambang periwayat yang syah, seperti kata  سمعت (saya dengar)  حدثني  (ia ceritakan kepada saya) dan lain-lain
  2. Kedua, antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat benar-benar terjadi hubungan periwayatan yang syah yakni unsur liqa’ (perjumpaan) atau kesezamanan hidup (mu’assaroh).[11]
  3. Seorang periwayat diduga sezaman (mu’asar) dengan gurunya, jika ia dinilai sebagai seorang yang dipercaya dan tahun wafat antara keduanya tidak terlalu jauh, sekalipun ia menggunakan lafaz tahammul atau penerima matan hadis dan lafaz-lafaz selain tersebut di atas.[12]

Ulama hadis umumnya menamai hadis sohih jika seluruh rangkaian periwayatannya bersambung dengan istilah muttasil atau mausul, baik itu bersambung sampai kepada Nabi atau hanya kepada sahabat. Jadi hadis  muttasil atau mausul ada yang disandarkan kepada Nabi saw.  yang dalam istilah ilmu hadis  disebut hadis marfu’ dan ada yang disandarkan kepada sahabat yang disebut hadis  mauquf.[13]

b.      Periwayatan bersifat `adil

Kata adil (bahasa Indonesia) sebenarnya berasal dari bahasa Arab (al-‘adil) yaitu bentuk masdar  dari kata kerja ‘adala. `Adil secara etimologi berarti : pertengahan (al-i’tidal), lurus (al-istiqomah) condong kepada kebenaran (al-ma’il ila al-haqq). Orang yang bersifat adil disebut ­al-adil.[14] Adapun keriteria periwayat yang adil menurut pendapat ulama hadis  adalah : 1.Beragama Islam,  2.  Mukallaf, 3. Melaksanakan ketentuan agama.  4. Memelihara muru’at.[15]

Adapun yang dimaksud dengan menjaga muru’at adalah menjaga kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri untuk tegaknya kebajikan moral dalam kebiasaan sehari-hari.[16] . Sementara yang dimaksud melaksanakan ketentuan agama ialah teguh dan istiqomah dalam melaksanakan ajaran agama, tidak berbuat dosa besar dan  kecil dan tidak melakukan maksiat dan harus berakhlak mulia.

Beragama Islam ‘ periwayat sewaktu menyampaikan hadis  dalam keadaan memeluk agama Islam, walaupun sewaktu menerima hadis  dia belum memeluk agama Islam. Jadi orang yang diterima riwayatnya hanya orang-orang sewaktu dia menyampaikan hadis  kepada muridnya orang tersebut dalam keadaan memeluk agama Islam. Mukallaf maksudnya periwayat yang balig (dewasa) dan berakal sehat menjadi syarat).[17] adil ketika menyampaikan hadis kepada orang lain. Pada saat menerima hadis  periwayat boleh saja belum dewasa tetapi dia sudah mumayiz (dapat memahami maksud pembicaraan dan membedakan sesuatu

Khusus terhadap semua sahabat Nabi jumhur Ulama hadis  menilai mereka bersifat ‘adil.[18]. Dan ada yang berpendapat ikut para Tabi’in. Dalilnya suroh al-Waqi’ah ayat 7-14 sebagai berikut:

÷LäêYä.ur %[`ºurør& ZpsW»n=rO ÇÐÈ   Ü=»ysô¹r'sù ÏpuZyJøyJø9$# !$tB Ü=»ptõ¾r& ÏpuZyJøyJø9$# ÇÑÈ   Ü=»ptõ¾r&ur ÏpyJt«ô±pRùQ$# !$tB Ü=»ptõ¾r& ÏpyJt«ô±pRùQ$# ÇÒÈ   tbqà)Î7»¡¡9$#ur tbqà)Î7»¡¡9$# ÇÊÉÈ   y7Í´¯»s9'ré& tbqç/§s)ßJø9$# ÇÊÊÈ   Îû ÏM»¨Zy_ ÉOŠÏè¨Z9$# ÇÊËÈ   ×'©#èO z`ÏiB tû,Î!¨rF{$# ÇÊÌÈ   ×@Î=s%ur z`ÏiB tûï̍ÅzFy$# ÇÊÍÈ

7. dan kamu menjadi tiga golongan. 8. Yaitu golongan kanan[1448]. Alangkah mulianya golongan kanan itu. 9. dan golongan kiri[1449]. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. 10. dan orang-orang yang beriman paling dahulu, 11. mereka itulah yang didekatkan kepada Alloh. 12. berada dalam jannah kenikmatan.13. segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, 14. dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian[1450]

Maksudnya, [1448] ialah mereka yang menerima buku catatan amal dengan tangan kanan. [1449] ialah mereka yang menerima buku catatan amal dengan tangan kiri. [1450] Yang dimaksud adalah umat sebelum Nabi Muhammad dan umat sesudah Nabi Muhammad saw.

Yang dimaksud dengan golongan kanan, pendahulu beriman orang muqorrobin adalah para sahabat dan tabi’in, karena mereka yang masuk sorga dalam ayat di atas, makanya mereka yang mentakhrij hadis selektif dalam menerima hadis dari sahabat dan tabi’n. Oleh karenanya dalam kegiatan kritik terhadap periwayat hadis  dari  sisi ‘adalah sahabat Nabi tidak dipermasalahkan dan tidak perlu diadakan kritik dan penilaian terhadap mereka.

c.       Periwayat bersifat dobith

Secara etimologi kata dobith secara etimologi berarti : yang kokoh, yang tepat dan yang hafal dengan sempurna. Secara terminologi menurut ahli hadis  berbeda-beda, menurut al-‘Asqalani, orang dobith adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia kehendaki.[19] Sebagian ulama mengatakan dobith adalah orang yang mendengar pembicaraan itu sebagaimana seharusnya, dia memahami dari pembicaraan itu dengan benar lalu menyampaikan hafalannya dengan sungguh-sungguh, setelah berhasil kemudian dia mampu menyampaikan hafalannya kepada orang lain dengan baik.[20] Subhi as-Salih berpendapat orang dobith adalah orang yang mendengar riwayat sebagaimana sebenarnya, dia memahami dengan pemahaman yang jelas, kemudian  dia menghafal secara sempurna, kemudian dia mampu menyampaikan kepada orang  lain.[21]

Dari beberapa pendapat ulama di atas ada tiga kriteria yang harus dimiliki seorang dobith  yaitu :  Pertama periwayat itu memahami dengan baik apa yang telah didengarnya (diterima) dari orang lain yang terdekat kepadanya. Kedua periwayat itu hafal dengan baik apa yang telah didengarnya atau diterimanya. Ketiga periwayat itu mampu menyampaikan apa yang telah dihafalnya dengan baik kapan saja diperlukan dan di mana saja tempatnya kepada orang lain.

Sebagian ulama berpendapat bahwa bagi seorang dobith yang penting adalah hafalannya karena hafalan yang baik dari riwayat yang diterimanya, berarti dia telah memahami apa yang dihafalnya. Oleh karena itu mereka tidak memasukkan  bukti pemahaman terhadap hadis  menjadi suatu syarat bagi orang yang dobith. Oleh karena itu orang yang mempunyai hafalan dan pemahaman yang baik mempunyai kedobithan yang lebih tinggi[22]. Imam as-Suyuthi mengatakan, apabila telah terkumpul pada seseorang periwayat hadis  sifat yang adil dan dobith maka seorang perowi itu siqah[23]

d.      Keadaan sanad tidak syaz

Dalam bahasa Arab kata syaz secara etimologi memiliki beberapa arti, yakni :  yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi aturan, yang jarang dan menyalahi orang banyak.[24] Menurut istilah ilmu hadis, pengertian syaz sebagaimana dikemukakan al-Hakim, hadis syaz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang siqah, tetapi tidak ada periwayat siqah yang lain meriwayatkan.[25] Lebih lanjut lagi dijelaskan Imam Syafi’i sebagaimana yang dikutip oleh M. Syuhudi Ismail mengatakan suatu hadis dinyatakan tidak mengandung syaz bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang  periwayat yang siqah, sedang periwayat yang siqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Sebaliknya suatu hadis  mengandung syaz apabila hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqah tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat.[26]    

Ulama Muhadditsin belakangan ini lebih cendrung memilih pendapat Imam Syafi’i karena penerapannya tidak sulit.  Apabila pendapat al-Hakim yang dipilih maka banyak hadis  yang mayoritas ulama hadis  telah menilai  hadis  sohih menjadi tidak sohih.

Mengetahui terjadinya syaz dalam suatu hadis dengan membandingkan berbagai sanad dan matan yang mengandung  permasalahan yang sama. Jika ada hadis yang menguatkannya maka hadis tersebut dapat diterima atau maqbul dapat diamalkan, biarpun satu jalur dinilai do’if tetapi karena dikuatkan hadis yang setopik maka kualitasnya yang do’if itu menjadi hasan ligoirih, akhirnya dapat diamalkan. Demikianlah gambaran pentingnya untuk mentakhrij hadis agar diketahui pada riwayat mana hadis itu tercantum.

e. Terhindar dari  ‘illat

Dalam bahasa arab, kata ‘illat adalah bentuk kata benda dari kata kerja ‘alla, ya’illu yang megandung arti: penyakit, cacat dan keburukan[27] Dalam istilah ilmu hadis ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis . Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sohih menjadi tidak sohih.[28] `Illat biasa juga terdapat pada sanad dan matan saja atau pada sanad dan matan sekaligus, namun yang paling terbanyak ‘illat terjadi pada sanad. Menurut kalangan Muhadditsin, jalan untuk megetahui ‘illat ialah dengan terlebih dahulu menghimpun semua jalur sanad yang berkaitan dengan suatu hadis. Setelah itu seluruh rangkaian dan kualitas periwayat baik dari aspek ‘adil dan dobith pada sanad itu diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat hadis.

Apabila keadaan sanad telah memenuhi kelima kaedah kesohihan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sanad itu adalah sanad yang sohih (valid) dan dijadikan sebagai hujjah dalam hukum.

Untuk mengetahui suatu hadis apakah sanadnya bersambung, ‘adil, dobith, tidak syaz dan terhindar dari ‘illat diperlukan informasi tertulis dari berbagai buku sejarah rijal  al-hadis  yang mengandung informasi tentang sejarah hidup perowi, baik yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (tahammul wa al-ada), kelebihan dan kekurangan kualitas pribadi, kapasitas intelektual para periwayat hadis dan lain sebagainya.

Ada tiga sikap para kritikus dalam mengkritik para periwayat hadis yaitu :

  1. Ulama yang bersikap ketat (tasyaddud) dalam mengkritik para periwayat hadis, baik dalam sifat ke adilan dan ke dobithannya atau sebaliknya. Di antara ulama tersebut adalah al-Nasa’i (w.303 H), ‘Ali bin Abdillah bin Ja’far as-Sa’idi al-Madini, (w.234 H), Al-Jauzani (w.289 H),  Abu Hatim ar-Razi (w.277 H), Ibn Abi Hatim ar-Razi (w.294 H), Syu’bah bin al-Hijjaj (w.160 H), Ibn al-Qattan (w.198 H), Ibn Ma’in (w.233 H), Ibn Madini (w.234 H) dan Yahya al-Qattan (w.198 H).
  2. Ulama yang bersikap longgar (tasahul) dalam mengkritik para periwayat Hadis, yaitu Jalal ad-Din as-Suyuti, (w.911 H), At-Turmuzi (w.276 H), Al-Hakim (w.405 H), Ibn Hibban (w.354 H), Al-Bazzar (w.292 H),  Asy-Syafi’i (w.203 H),  At-Tabrani (w.360 H), Abu Bakar al-Haitami (w.807 H), Al-Munziri (w.656 H), Al-Tahanawi (w.321 H), Ibn Khuzaimah (w.311 H), Ibn Sakan (w.353 H), Al-Baihaqi (w.458 H), dan Al-Bagawi (w.510 H).
  3. Ulama bersikap moderat (tawassut) dalam mengkritik para periwayat hadis, di antaranya az-Zahabi, (w.748 H), Al-Al-Bukhori (w.256 H), ad-Dar al-Qutni (w.385 H), Ahmad bin Hanbal (w.241 H), Abu Zur’ah (w.281 H), Ibn ‘Adi (w.242 H), dan Ibn Hajar al-Asqalani (w.582 H).[29]

Dari penggolongan di atas tentu sangat berpengaruh sekali dalam menentukan penilaian para periwayat hadis dan kualitas hadis itu sendiri. Dalam hubungannya dengan evaluasi yang negatif dan positif terhadap kualitas periwayat, para ulama kritikus telah merumuskan beberapa lafaz sesuai dengan tingkat kepositifannya (keterpujian) dan jarah atau tajrih ‘ kenegatifannya (ketercelaannya). Oleh karena itu periwayat hadis jumlahnya banyak dan kualitasnya tidak sama, maka kata-kata atau kalimat yang dipakai dapat dikelompokkan dalam peringkat-peringkat tertentu sesuai dengan kualitasnya yang kemudian dikenal dengan istilah maratib al-jarh wa at-ta’dil (tingkat ketercelaan dan keterpujian para periwayat).

Jumlah susunan dan urutan alfaz al-jarh wa at-ta’dil yang dikemukakan ulama hadis ternyata juga terdapat sedikit perbedaan. Ibn Salah misalnya, menetapkan empat peringkat masing-masing untuk sifat keterpujian dan ketercelaan.[30] Sementara az-Zahabi menetapkan lima peringkat.[31] Sedangkan Ibn Hajar al-Asqalani dan as-Suyuti menetapkan enam peringkat.[32] Karena lebih rinci dan mencakup pendapat lainnya, ulama kontemporer, seperti al-Khatib, Mahmud at-Tahhan, dan Bayumi Adlani umumnya mengikuti pendapat al ‘Asqalani dan as-Suyuthi.[33] Keenam masing-masing peringkat tersebut baik yang berkaitan dengan keterpujian maupun yang berhubungan dengan ketercelaan serta status kehujjahannya sebagai berikut :

a.      Lafaz-lafaz keterpujian dan peringkatnya

Adapun tingkatan ta’dil :

1.      Kata-kata yang menunjukkan “mubalaghah” (bersangatan) dengan bentuk ism tafdil (superlatif), misalnya :اوثق الناس (orang yang paling          siqat/terpercaya)  ضبط الناس   (orang yang paling dobith) ,طير   ليس له(tiada bandingannya).

2.  Kata-kata yang menunjukkan kepercayaan misalnya : ثقة ثقة 

     teguh terpercaya) ثبت ثبت (teguh-teguh), ثبت ثقة  (teguh terpercaya).

3.  Kata-kata yang menunjukkan sifat ‘adil dengan kata yang menyiratkan kedobithan, tanpa ada pengulangan, Misalnya,   ثقة    (terpercaya)    ثبت   (teguh)    ثقة مامون  (kukuh, sempurna).

4.  Kata-kata yang menunjukkan sifat ‘adil tetapi menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedobithan yang kuat. Misalnya: ثقة مامون (sempurna)  صدوق , (sangat jujur) مامون  (dapat diberi amanah) لابأس به  (tidak cacat).

5.  Kata-kata atau lafaz, seperti, شيخ وسط  (Syeikh pertengahan)جيد الحديث  (baik  hadisnya),  صدوق يخطئ, صدق له او هام    dan lain-lain.

6.   Kata-kata yang maknanya mendekati makna jarh (cacat) misalnya :      الحديث  الصالح   (baik hadisnya) صدوق  لله ان شاء  أ (sangat jujur  Insya Alloh)

Adapun tingkatan  jarh :

1.      Kata-kata yang menunjukkan tingkatan yang paling buruk (cacat) seperti :    اوضع الناس  (orang yang paling membuat-buat).  

2.      Kata-kata yang menunjukkan mubalaghah (bentuk bersangatan), misalnya,  كذاب  (sangat pendusta),   ضعيف جدا  (lemah sekali).

3.      Kata-kata yang menunjukkan bahwa perowi pendusta, pemalsu dan mengada-ada, misalnya ( يسرق تلحديث, متهم بالو ضعمتهم بالكذب ).

4.      Kata-kata yang menunjukkan kedai’fan yang berlebihan misalnya.

 مردود الحديث  ( tertolak hadisnya)        مطروح الحديث     (tertolak hadisnya).

5.      Kata-kata yang menunjukkan penilaian da’if atas perowi atau kerancuan hafalannya misalnya : ضعفوهلايحتج به

6.      Kata-kata yang menunjukkan kelemahan periwayat, akan tetapi dekat dengan ta’dil, misalnya : [34]    ليس بحجة ,ضعف

Para ulama kritikus hadis menggunakan kata-kata yang peringkatnya berbeda dengan apa yang digunakan oleh kebanyakan kritikus hadis . Ibnu Ma’in misalnya, apabila ia menilai seorang periwayat hadis  dengan ungkapan la ba’sa bihi atau fihi nazr, penilaian tersebut tidak masuk pada peringkat keempat, akan tetapi penilaian itu menunjukkan periawayat yang siqah.[35]

Periwayat hadis yang mendapat penilaian dari kritikus hadis  seperti yang tercantum pada peringkat-peringkat lafaz di atas merupakan gambaran tingkat kualitas sanad hadis. Dalam menetapkan peringkat-peringkat  lafaz-lafaz yang dijadikan hujjah di kalangan ulama hadis terdapat perbedaan pendapat. At-Tahhan menetapkan tiga peringkat, pertama dapat dijadikan hujjah, meskipun antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan. Peringkat antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan, sedangkan peringkat keempat dan kelima tidak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi hadisnya tetap dan ditulis dan diuji  dengan hadis  yang lain (al-i’tibar). Peringkat kelima berada dibawah pringkat keempat. Sementara peringkat keenam tidak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi dapat dijadikan i’tibar, bukan ikhtibar. Hal ini disebabkan kondisi periwayatannya telah nyata ketidak dobithannya.[36]

Al-Khatib dan ‘Abbas al-Bayumi menetapkan empat peringkat ta’dil. Peringkat pertama dapat dijadikan hujjah, sedangkan dua peringkat terahir tidak dapat dijadikan hujjah dan hanya dapat dijadikan perbandingan (al-i’tibar) dengan hadis  yang lain.[37] Abu Husein Lubabah mempunyai pandangan yang sama dengan dua tokoh yang disebutkan terakhir, hanya ia membedakan tingkat kehujjahan antara tiga peringkat pertama dengan peringkat keempat. Tiga peringkat pertama dinilainya sohih sedangkan peringkat keempat dinilainya hasan. Sementara dua peringkat terakhir hanya dapat ditulis untuk dapat dipertimbangkan. Hadisnya akan diterima apabila ditemukan jalur yang lain yang dapat menguatkannya.[38]

Dalam menetapkan peringkat lafaz tajrih di atas, seperti halnya ta’dil. Ulama Muhadditsin berbeda pendapat. Menurut at-Tahhan, orang yang mendapat penilaian pada empat peringkat pertama, maka hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, hanya bisa dijadikan i’tibar.[39]

Perbedaan pendapat di kalangan ulama kritikus hadis dalam menilai seorang periwayat sering menilainya tidak dobith. Hal itu menimbulkan persoalan bagi peneliti hadis. Misalnya seorang periwayat dinyatakan siqah oleh sebagian kritikus dan dinilai tidak siqah oleh ulama kritik hadis  yang lain.

Menurut ‘Abd al-Wahab ‘Abd al-Latif ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya kontradiksi penilaian terhadap kedobithan seorang periwayat. Pertama, fanatisme terhadap sekte teologis tertentu. Kedua, fanatisme terhadap suatu mazhab fiqih. Ketiga kekeliruan dalam menetapkan ke’adilan seseorang. Keempat dikalangan kritikus hadis  terjadi persaingan sehingga pada waktu marah mereka memberikan penilaian negatif terhadap orang yang menjadi lawannya.[40]

Selain itu perbedaan penilaian bisa juga terjadi karena sebagian kritikus hadis  memberikan penilaian at-tajrih berdasarkan informasi ketercelaan yang terdahulu pernah diterimanya tentang seorang periwayat tertentu. Setelah berselang beberapa waktu, periwayat tersebut bertaubat dan diketahui oleh sebagian periwayat yang lain, dan kemudian ia pun menta’dilkannya. Hal yang sama juga bisa terjadi kepada seorang periwayat yang dikenal tidak baik hafalannya oleh gurunya dan ia tidak menulis hadis  darinya. Sementara itu, guru yang lain menilainya siqah karena ia berpegang pada kitab-kitabnya.[41] Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, perbedaan sikap para kritikus hadis  dalam menerapkan norma-norma kritik tersebut menjadi penyebab munculnya perbedaan penilaian. Di antara mereka ada yang bersikap ketat (mutasyaddid), moderat (mu’tadil atau mutawassit), dan longgar (mutasahil).

Untuk menyelesaikan pertentangan penilaian seperti tersebut di atas setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan al-Muhadditsin  yaitu:

a.      Kritik yang berisi pujian (positif) terhadap para periwayat celaan harus dimenangkan kritik yang berisi pujian, (يقدم التعديل على التجريح)   alasannya karena sifat asal periwayat adalah terpuji. Cara ini didukung oleh an-Nasai`. (w. 303 H). Berarti kritikan yang sifatyna tasahul atau ,mudah

b.      Kritik berisi celaan terhadap perowi pujian harus dimenangkan kritik yang berisi celaan يقدم التجريح على التعديل))  alasannya :

1(. Ulama yang mengemukakan celaan lebih mengetahui keadaan periwayat dari pada ulama yang memuji periwayat tersebut.

2.      Dasar memuji dari ulama yang memuji periwayat hanya persangkaan baik semata. Sifat kritikannya ketat atau tasyaddud.

c. Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela maka yang dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya. Dalilnya sebagai berikut:

(اذا تعار ض الجار ح والمعدل فالحكم المعدل الااذا اثبت الجارح المفسر)

Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela maka yang dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya

Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut :

1.      Ulama yang mengemukakan celaan benar-benar mengetahui pribadi periwayat yang dicela.

2.      Celaan yang disampaikan haruslah bersandarkan argumentasi yang kuat dan penjelasan yang konkrit.[42]

Cara kedua dan yang ketiga didukung oleh umumnya para ahli hadis , ulama fiqh dan usul fiqh.[43] Yang pertama hanya didukung sebagian kecil ahli hadis. Dengan adanya cara di atas, seorang peneliti harus dituntut bersikap kritis, apabila kritik berisi celaan terhadap para periwayat itu tanpa dijelaskan sebab-sebab ketercelaannya, maka haruslah diteliti juga sang pengkritik tersebut, apakah termasuk ke dalam kategori ketat, longgar atau moderat. Oleh karenanya peneliti hadis sekarang adalah mengkritik para pengeritik terdahulu, di mana posisi dia apakah kategori ketat, longgar atau moderat.

Apabila kritikus itu termasuk ke dalam kategori ketat (tasyaddud)  maka ia menilai periwayat yang berkualitas da’if  tanpa memerlukan lagi keterangan akan sebab-sebab keda’ifannya itu. Bagi kritikus yang termasuk kategori moderat (tawassut) akan memperlihatkan sebab-sebab keda’ifannya bisa ditolerir atau tidak melalui syahid, tabi’ atau bantuan jalur lain yang siqah.

Adapun sebagian kritikus yang longgar (tasahul) dalam menilai ketercelaan dan keterpujian periwayat, maka apabila periwayat itu tercela maka langsung cepat-cepat memvonis dengan da’if dan begitu juga apabila periwayat itu adil tanpa memperhatikan lebih jauh lagi sebab ketercelaan dan keterpujiannya.[44]

Mengacu kepada kaidah kesohihan sanad hadis di atas, maka hadis  ahad dari segi kritik sanad bisa atau tidaknya dijadikan sebagai hujjah, dapat dibagi kepada dua macam, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis  maqbul adalah hadis  yang memenuhi semua unsur-unsur kaedah kesohihan hadis. Apabila salah satu unsur-unsur kaidah kesohihan tidak terpenuhi, maka hadis seperti itu tidak dapat dijadikan sebagai hujjah(mardud).

Selain pembagian di atas para Muhadditsin membagi hadis kepada tiga macam, yaitu : sohih, hasan dan da’if.[45]  Pada prinsipnya, dua macam hadis yang disebutkan pertama adalah hadis  yang telah memenuhi syarat seluruh unsur kaedah kesohihan sanad. Tetapi hadis hasan dari segi tingkat kedobithan periwayat, berada di bawah kedobithan periwayat hadis  yang berkualitas sohih[46].

Hadis yang tidak memenuhi salah satu atau sebagian seluruh unsur-unsur kaedah kesohihan di atas menyebabkan kualitas hadis  tersebut menjadi da’if. [47] Ketiga macam hadis  tersebut di atas masing-masing dapat dibagi lagi kepada beberapa bagian. Hadis  sohih dapat dibagi menjadi hadis  sohih li zatih hadis  sohih li gairih. Hadis  sohih li zatih ialah hadis  yang memenuhi seluruh unsur kaedah kesohihan sanad hadis secara utuh. Sedangkan hadis sohih li gairih, pada asalnya bukanlah hadis  sohih, akan tetapi hadis  hasan. Namun, oleh karena ada dukungan hadis  sohih  yang lain maka kualitasnya meningkat menjadi sohih.[48]

Hadis  hasan, seperti halnya hadis  sohih, terbagi kepada dua macam, yaitu hadis  hasan li zatih  dan hadis  hasan li gairih. Hadis  hasan li zatih dari segi unsur-unsur kaidah kesohihan sanad hadis, sama dengan hadis  sohih,  hanya tingkat kedobithan periwayatannya berada sedikit di bawah periwayatan hadis  sohih. Hadis  hasan li gairih berasal dari hadis  da’if. Oleh karena ada pendukung hadis  lain maka yang lebih tinggi kualitasnya, maka kualitasnya meningkat menjadi hasan li gairih. Menurut mayoritas ulama hadis, hadis yang  berkualitas sohih dan hasan dapat dijadikan hujjah.[49]

Hadis  da’if,  seperti dijelaskan di atas, ialah hadis  yang tidak memenuhi kaedah kesohihan sanad hadis. Hadis  yang disebabkan tidak terpenuhinya sanad bersambung dapat  berupa berupa hadis  mursal.[50] hadis  munqati[51], hadis  muallaq[52], mu’dal,[53] dan mudallas.[54] Jenis hadis  lain yang berkaitan dengan keterputusan sanad adalah hadis  mu’an’an[55] dan hadis  mu’annan.[56] Menurut sebagian ulama, hadis  mu’anan merupakan indikasi sanad terputus. Namun demikian mayoritas ulama menilai bahwa hadis  seperti itu diriwayatkan dengan cara as-sama’, apabila memnuhi syarat-syarat sebagai berikut : a). Dalam sanad yang mengandung harf atau huruf ’an ‘ dari, tidak terdapat penyembunyian informasi (tadlis) yang dilakukan periwayat.  b). Antara periwayat dengan periwayat yang terdekat di antarai oleh haruf ’an itu terjadi pertemuan atau dimungkikan terjadi pertemuan (liqa).[57]

Hadis  da’if karena tidak terpenuhinya syarat periwayat yang adil atau dobith jenisnya cukup banyak karena ketercelaan periwayat banyak macamnya. Secara umum, jenis Hadis yang disebabkan tidak terpenuhinya syarat periwayat yang ‘adil dan dobith ada sepuluh, yaitu : hadis  maudu’[58], hadis  matruk[59]hadis  munkar,[60] hadis  mu’dal,[61] hadis  mudraj[62], hadis  mudtarib[63] hadis  maqlub[64], hadis  majhul,[65] hadis  syaz[66]dan  hadis mukhtalif.[67]

Sejarah Kritik Sanad

Pentakhrij abad 1 H ( Para Sahabat Rosul saw.)

1.       Abu Huroiroh ( 21 SH-59 H atau 602- 679 M)

2.       ‘Abdullah bin ‘Umar ( 10 SH -73 H)

3.       Anas bin Malik ( 10 SH- 93 H )

4.       ‘Aisyah ( 6 SH-58 H )

5.       ‘Abdullah bin ‘Abbas ( 3 atau 5 SH-68 H)

6.       Jabir bin ‘Abdullah ( 16 SH-78 H)

7.       Abu Sa’id al-Khudri ( 12 SH-74 H)

8.       ‘Abdullah bin Mas’ud ( w. 32 H)

9.       Abu ath-Thufail ( w.100 atau 102 H)

Pentakhrij Para Tabi’in

1.       Al-Hasan al-Bashri ( 21-110 H atau 642-708 M ) nama lengkapnya Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar  al-Bashri. Lahir di Madinah dalam pemeliharaan ‘Ali bin Abi Tholib

2.       Muhammad bin Sirin ( 33-110 H)

3.       Muhammad bin Muslim az-Zuhri ( 51-124 H)

4.       Qotadah bin Di’amah (11 -61 H)

5.       Sa’id bin Jubair ( 42-95 H)

6.       Ja’far ash-Shodiq ( 80-128 H) kakeknya Zainul ‘Abidin paman kakeknya adalah Hasan bin ‘Ali bin Abi Tolib. Lahir di Makkah wafat di Madinah di makamkan di Baqi’.

Pentakhrij abad ke 2 H

1.       Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi ( wafat 146 H) nama lengkapnya Abu an-Nashri Muhammad bin Sa’ib bin Basyar bin ‘Amar al-Kalbi

2.       Ibn Juraiz ( 80-150 H) nama lengkapnya Abu Khalid ‘Abd al-Malik ibn ‘Abdi al-‘Aziz bin Juraiz al-Amawi al-Makki berasal dari Roma

3.       Muqotil bin Sulaiman (wafat 150 H) nama lengkapnya Abu Husain Muqotil bin Sulaiman bin Basyir al-Azbi al-Khurosani al-Marwazi berasal dari Balag dan menetap di Bagdad

4.       Muhammad bin Ishaq ( wafat 151 H ) nama lengkapnya Abu Bakar ( Abu ‘Abdullah) Muhammad bin Ishaq bin Yasar al-Matlabi al-Madini

5.       Abu Hanifah (80 -150 H nama lengkapnya an-Nu’man bin Basyir bin Zutho at-Taini lahir di Kufah wafat di Bagdad

6.       Malik bin Anas ( 97 -179) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-Ashabi al-Himyari al-Madani

7.       Sufyan as-Sauri (97-161 H) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Sufyan bin Sa’id bin Masruq as-Sauri al-Kufi

8.       Sufyan bin’Uyainah (107-198 H)  nama lengkapnyaAbu Muhammad Sufyan bin’Uyainah bin Abi ‘Imron Maimun al-Hilali al-Kufi wafat di Makkah

9.        ‘Abdullah bin Lahi’ah (wafat 174 H ) nama lengkapnya Abu ‘Abdur Rohman ‘Abdullah bin Lahi’ah bin ‘Uqbah al-Hadroni al-Mishri

10.   Al-Laitsi ( 94-175 H ) nama lengkapnya Abu al-Harits al-Laits bin Sa’ad bin ‘Abdur Rohman al-Fahmi di Mesir

11.Asy-Syafi’i ( 150-204 H )  nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin Syafi’i bin Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yaziz bin Hasyim bin ‘Abdi al-Muttolib bin ‘Abdu Manaf al-Muttolibi al-Quroisy

12.Syu’bah al-Hajjaj ( 83- 160 H )  nama lengkapnya Abu Basiham Syu’bah bin al-Hajjaj bin al-Ward al’Utaki

13.Yahya bin Ma’in ( 158-223 ) nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya bin Ma’in bin ‘Aun bin  Ziyad bin Basham bin ‘Abdur Rohman al-Murri al-Bagdadi wafat di Madinah

14. Ishaq bin Rahawaih ( 161-237 H)  nama lenkapnya Abu Ayyub Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad al-Hamdali berdomisili di Naisaburi sampai wafatnya.

15.Ahmad bin Hanbal ( 164-241 H) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin asy-Syaibani al-mrawazi lahir di Bagdad

16.Ad-Darimi ( 181- 255 H) nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman bin Fadl bin Bahrum at- Tamimiy ad-Darimi.

17.Al-Bukhori(194-256 H),nama lengkapnya, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mugiroh al-Ja’fi, kakeknya Majusi.

Pentakhrij Abad ke 3 H

1.       Abu Dawud (202-275 H) nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ast bin Syidad bin ‘Amar bin ‘Amir Assijistani

2.       Muslim,( 206-261H), nama lengkapnya adalahAbul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an- Naisaburi.

3.       Ibn Majah (209-273 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Robi’i al-Qozwani.

4.       At-Tirmidzi ( 209-279 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad bin Sauroh bin Musa bin Dohhar bin Sulami al Bugi at-Tirmidzi

5.       An- Nasai (214-303 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdur Rohman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Bakar bin Sinan an-Nasai.

6.       Ibn Khuzaimah (223-313 H) nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah an-Naisaburi  lahir di Khurosan

7.       At-Tohawi (238-321 H) nama lengkapnya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abdul Malik al-Azdi at-Tohawi  dia orang Mesir

8.       At-Thobroni (260-360 H) nama lengkapnya Abu al-Qosim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub al-Lakhmi atoThobroni .Nama kitabnya al-Majmu’ al-Kabir, al-Majmu’al-Ausath dan al-Majmu’ as-Sogir  lahir di Syam, wafat di Hamamah ad-Dausi

 

Pentakhrij abad ke 4 H

1.       Al- Hakim (321-405 H) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullahbin Muhammad bin Handawaihi ad-Dobbi an-Naisaburi lahir di Naisabur pindah ke Iroq

2.       Ibn Mandah (310-395 H) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah al-‘Abdy al-Ashfahani

3.       Ibn Hibban (w. 354) nama lengkapnya Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban at-Tamimi al-Butsi  dia orang Samarqond.

4.       Ad-Daruquthni (306-385 H) nama lengkapnya Abu al-Husain ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Bagdadi ad-Daruqtni  dia orang Bagdad

5.       Al-Khotibi al-Bagdadi (392-483 H) nama lengkapnya Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit bin Ahmad al-Bagdadi

6.       Al- Baihaqi (348- 458 H) nama lengkapnya Abu Bkar Ahmad bin Husain bin ‘Ali bin ;Abdullah bin Musa  al-Baihaqi wafat di Naisabur, belajar hadis ke ‘Iroq dan Hijaj.

Pentakhrij abad ke 5

1.       Ibn al-Jauzi (508-597 H) nama lengkapnya Abu Farji’ ‘Abdur Rohman bin Abi al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Jauzi

Pentakhrij abad ke 6

1.       An-Nawawi (631-676 H) nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Hizm al-Huzami an-Nawawi lahir di Nawa, beliau pensyarah hadis seperti Kitab Riyadus solihin.

2.       Al-Mizzi ( 654-742 H) nama lengkapnya Abu al-Hajjaj Yusuf bin ‘Abdur Rohman bin Yusuf bin ‘Abdul Malik al-Kalbi al-Mizzi beliau penyusun Tahzib al-Kamal dan al-Athrof yang berisi riwayat hidup para sanad hadis.

3.       Az-Zahabi (673-748 H) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Ustman az-Zahabi beliau menyusun Mizan al-I’tidal riwayat hidup sanad hadis

4.        Ibn Syyidinnas ( 661-734 H) nama lengkapnya Abu Fathi Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Syyidinnas al-Ya’mari

5.       Ibn Jama’ah ( 639-733 H)  nama lengkapnya Badruddin Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah al-Kanani al-Hamawi

6.        Ad-Dimyati (613-705 H)  wafat di Cairo nama lengkapnya ‘Abdul Mukmin Gholaf bin Abi al-Hasan bin Syaraf ad-Dimyati asy-Syafi’i

Pentakhrij abad ke 7

1.             Al-Kirmani (717-786 H) nama lengkapnya Muhammad bin Ysuf bin ‘Ali al-Kirmani al-Bagdadi lahir di Kufah

2.             Ibn Katsir ( 700-774 H) nama lengkapnya Abu Fidla’ Imaduddin Ismail bin ‘Umar bin Katsir al-Bashrawi

3.             Al-Zaila’iy ( W. 762 H) nama lengkapnya Abu Muhammad ‘Abdullah bin Yusuf bin Muhammad al-Hanafi asy-Syafi’i

4.             Ibn Rojab (706-795 H) nama lengkapnya Zainuddin ‘Abdur Rohman bin Ahmaa bin Rojab bin Hasan as-Sulami al-Hanbali

5.             Al-Bulaqini (724-805 H)  nama lengkapnya Sirajuddin Abu Hafas ‘Umar bin Ruslan bin Nashir bin Shahih al-Kinani asy-Syafi’i

6.             Al-‘Iroqi ( 725-805 H) nama lengkapnya Abu al-Fadil Zainuddin ‘Abdir Rohim bin Husain bin ‘Abdir Rohman al-‘Iroqi asy-Syafi’i

7.             Az-Zarkasyi (745-794 H) nama lengkapnya Badruddin  Muhammad bin ‘Abdullah bin Bahadur Az-Zarkasyi

8.             Al-’Asqolqnii ( 773-852 H) nama lengkapnya Abu Fadli Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad al-Kinani al-’Asqolqnii. Nama kitabnya Tahzib at Tahzib dan Fath al-Baari

Pentakhrij abad 8

1.       As-Suyuthi (849-911 H) nama lengkapnya Abu al-Fadil Jalaluddin bin ‘Abdir Rohman bin Kamal Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq as-Suyuthi asy-Syafi’i. Karyanya al-Jami’ ash-Shogir

 

 

Pentakhrij abad ke 9

1.       Al-Manawi (952-1031 H) nama lengkapnya ‘Abdur Rauf bin Tajul ‘Arifin ‘Ali bin Zainu al-‘Abidin dengan gelar masyhurnya Zainuddin al-Hawari asy-Syafi’i al Manawi. Karyanya Tafsir Suroh al-Fatihah dan Takhrij Hadis al-Baidawi

Pentakhrij abad 10

1.       Ash-Shon’ani (1099-112 H) nama lengkapnya as-Sa’id Muhammad bin Ismail bin Solih al-Amir al-Kahlani ash-Shon’ani. Nama kitabnya Subulus Salam

2.       Asy-Syaukani (1172-1255 H) nama lengkapnya  Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah Asya Syaukani ash-Shon’ani, Karyanya Nailul Autor , Fathu al-Qodir [68]

 Takhrij hadis yang dilakukan oleh muhadditsin setelah generasi pertama, misalnya al-Baihaqi. Mereka mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis atau dari berbagai kitab- kitab sebelumnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya dengan mengemukakan periwayat dan penyusun kitab yang dijadikan sumber pengambilan.

 Selanjutnya takhrij hadis yang dilakukan oleh generasi berikutnya dengan menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrijnya langsung, misalnya kitab Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Beliau wafat tahun 852 H.

 Seterusnya generasi berikutnya takhrij hadis yang dilakukan oleh muhadditsin dengan mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya, yakni kitab-kitab hadis dengan menyertakan metode periwayatan dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.

 Dari gambaran kritik sanad yang dilakukan para Muhadditsin tidak bisa ditandingi karya mereka dan tidak mungkin lagi diulangi kembali, karena sudah  cukup dan  sempurna. Jika dilakukan mungkin banyak salah karena zaman sekarang sulit mencari data di luar data yang mereka temukan. Sebaiknya mari kita hargai karya mereka. Tetapi karya kita yang perlu dilanjutkan dari teori kritik matan yang matang dan mendalam penuh kehati-hatian

Kritik matan dengan metode berfikir bahwa kritik sanad sudah banyak dilakukan oleh Periwayat Kitab 9 Hadis ( al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad bn Hanbal, Malik dan ad-Darimi) dan pentakhrij sebelum dan sesudahnya. Selanjutnya Kitab 9  hadis ini sudah dikritik ulama kritikus sanad hadis seperti az-Zahabi al-Madini, bahkan di antara Imam 9 ini ada juga terlibat langsung ikut kritikus sanad hadis. Akhirnya sulit kita menyimpulkan kritik mana yang diterima. Dan yang susahnya sudahkah benar kritikan mereka itu atau tidak dan siapa yang berhak memberikan penilaian terhadap hasil kritikan mereka itu apakah sudah sohih atau masih perlu diteliti kembali. Jadi cukupkan saja hasil penelitian para sanad itu tetapi perlu dilakukan kritik sanad sebagai perbandingan dengan hasil penelitian mereka. Demikian juga di antara para kritikus hadis tidak sama penilaian mereka terhadap sanad hadis antara yang memuji dan mencacatnya.

Oleh karenanya metodologi kritik sanad yang disarankan penulis adalah sebagai berikut:

1.         Masukkan Program Kitab 9 Imam Hadis dan Program al-Maktabah asy-Syamilah dalam Komputer atau Laptop anda

2.         Tentukan kata kunci, yang diambil dari matan hadis yang merupakan kata pokok

3.         Setiap masalah yang diteliti atau yang ditakhrij, lakukan perbandingan dengan kitab takhrij yang ada dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah  simbol:

-كتب التخريج

كتب العلل والسؤلات-

مصطلح الحديث-

أرشيف ملتقى أهل الحديث-

            Kemudian dalam mengakses simbol yang 4 di atas, agar muncul hadis yang diteliti, maka hidupkan komputer maka klik simbol المكتبة الشاملة maka muncul beberapa tampilan, maka klik simbol berlambang kaya 2 tropong ( urutan ketiga di atas tulisan tampilan   المكتبة الشاملة , kemudian klik lambang salah satu simbol yang 4 di atas. Selanjutnya setelah muncul nama kitab-kitabnya maka klik simbol المجموع كلها. Kemudian kopi paste kata kunci matan yang diteliti ( di mana kursor berada) kemudian enter, maka muncul tampilan jawaban yang diminta baru analisa mana yang relevan dengan penelitian yang dimaksud. Jika ada kitab yang sama hasil tampilannya cukup satu saja yang diambil atau dikutif. Kemudian lakukan seperti itu terhadap simbol lainnya itu. Kemudian buat kesimpulan atau  natijah, apakah sohih, hasan, do’if atau maudu’ berdasarkan takhrij anda dan hasil  perbandingan dengan simbol yang 4 itu. Untuk jelasnya mari kita ikuti uraian metodologi kritik sanad pada bagian kedua di bawah ini.

 

 

 



[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1989), h. 430

[2] Mahmud at-Tahhan, TaisirMustalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Qur’an  al-Karim,1979), h.33. Departemen Pendidikan dan Kebudayan. Kamus..., h. 849.

[3] Ibid., h.16.

[4] M. ‘Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr,1981), h.12.

[5]Mahmud at-Tahhan,Usul at-Tahhrij wa Dirasat al-Asanid (Halb: Al-Maktabah al-Arabiyah, 1978), h. 98

[6]M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kasalihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.24.

[7] Abu Amir Usman ibn Abdur Rahman ibn as-Salah, Ulumul Hadis (Al-Madinah al-Munawwarah : al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972), h. 10.

[8] Jalal ad-Din ‘Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi,Syarah Taqri an- Nawaw (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al – Ilmiyat, 1972), h.10.

[9] Ismail,  Kaedah..., h. 111.

[10] Subhi as-Salih, Mabahis fi  Ulumil Hadis, (Beirut: Dar al-Firk, 1992), h.145.

[11] Ismail, Kaedah..., h. 112-113

[12]Ramli ‘Abdul Wahid, Metode Penelitian Hadis dan Masalahnya, di dalam Journal Analytica Islamica, Volume 1 Nomor 1, Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara,1999, h. 86.

[13] Abu Amir Usman bin Abdur Rahman As-Salah, Ulumu al_Hadis,( Madinah al-Munawwaroh: al-Maktabah al-Islamiyah,1972) h.39.

[14]Muhammad bin Muharram bin Manzur, Lisan al-Arab, (Mesir: Dar al-Misriyah, t.t), h. 456-463.

[15] Ismail, Kaedah..., h. 113 – 118.

[16] Ibid. h.116-118.

[17] Jala ad-Din ‘Abdurrahman bib Abi BakarAs-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Syarah at-Taqrib an-Nawai( Madinah al-Munawarah: Maktabah al- Ilmiyah, 1972) h. 47,  al-Khatib,Usul..., h. 227 dan 232.

[18] As Salah,Ulum...,h. 264. Ibn Hajar al-‘Asqalani,Al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Juz  I, h.9-10.

[19] Menurut bahasa kata dobith berarti: kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Lois Ma’luf, Munjid fi al-Lugoh ( Mesir Dar al-Masyriq,tt), h. 445.

[20]. Muhammad Abu Zaharah, Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 232.

[21] Subhi as-Salih, Mabahis fi Ulum al-Hadi,(Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h.128.

[22]Ismail, Kaedah..., h.136.

[23] As-Suyuti, Tadrib..., h. 63.

[24] Manzur, Lisan...,jilid V, h. 28-29.

[25] Dari pendapat Imam al– Hakim di atas dapat dinyatakan bahwa hadis syaz tidak disebabkan oleh: a. Periwayat yang siqah, b. Pertentangan matan dan sanad hadis dari para periwayat yang sama-sama siqat. Hadis mengandung syuzuz apabila: a. Hadis itu diriwayatkan oleh seorang periwayat saja, b. Periwayat yang sendirian bersifat siqat, Ismail, Kaedah..., h. 140.

[26] Dari penjelasan Imam Syafi’i di atas dapat dinyatakan bahwa hadis syaz tidak disebabkan oleh : a. Kesendirian individu periwayat dalam sanad hadis, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah Fard Mutlak, b. Periwayat yang  siqat. Sebaliknya hadis mengandung syaz apabila : a. Hadis memiliki lebih dari satu sanad, b. Para periwayat itu seutuhnya siqat, c. Matan dan sanad ada yang mengandung pertentangan. Ibid, h. 139.

[27]Manzur, Lisan..., jilid XVIII, h. 498.

[28]Nur al-Din ‘Itar, Al-Madkhal Ila ‘Ulum al-Hadis (Madinah Munawwarah: Maktabah           al-Ilmiyah, 1972), h 447.

[29]Abu Abdillah Muhammad bin az–Zahabi. Zikr Man Yu’tamad Qauluhu fi al-Jarh wa al– Ta’dil, (Mesir : Matba’ah al-Islamiyah, t.t), h.159.  as-Salah, Ulum..., h. 110-114.

[30]Ibid.

[31] Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqad ar-Rijal, (t.tp: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiah, 1963), juz I, h.4.

[32] Al-Asqalani, Nuzhat an-Nazar Syarh Nukhbat al-Fikr, (Semarang: Maktabah al-Munawar, t.t), h.66-67. Al-Suyuti, Tadrib…, h.342-350.

[33] Al-Khatib, Usul..., h. 75- 277. At-Tahhan, Usul..., h. 163-166. ‘Abbas Bayumi Adlani, Dirasah fi al Hadis an-Nabawi, (Iskandariyah: Mua’assah Syabab al-Jami’ah,1987), h.156–158.

[34] ‘Abd Wahab ‘Abd al-Latif, al-Muktabir al-Jami’ Baina Kitab al-Mukhtasyaruhu al-Mu’tasir fi ‘Ulum al-Asar (Kairo : Maktabah al-Jami’ah al-Azhariyah, 1963), h. 246-247

[35] As-Suyuti, Tadrib..., h.344.

[36] At- Tahhan,Ulum..., h.153.

[37] Al-Khatib, Usul..., h.276.  Abbas Bayumi Adlani, Dirasah fi al-Hadis an-Nabwi,( Iskandariyah:Muassasah Syabab alJamiah,1987), h.185.

[38] Abu Husein Lubabah, Al- Jarh wa at- Ta’dil, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1979), cet I, h. 105.

[39] At-Tahhan, Usul...,h.146.

[40] Abdu al- Wahab Abdu Al-Latif, Al-Mubtakir al-Jami’ Baina Kitabi al-Mukhtasaruhu al-Mu’tasir fi Ulum al-Asar,( Kairo: Maktabah al-Jamiah az-Zahiriah,1963) h.58-61.

[41] Al-Khatib, Usul..., h.269.

[42] Ismail, Kaedah..., h.182.

[43] As-Suyuti, Tadrib..., Juz I, h.305-314.

[44] M.Hasby ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,1974), h.373-375.

[45] Al-Khatib,Usul..., h.305.

[46] As-Salih, Mabahis..., h.146-156.

[47] Defenisi hadis da’if menurut ulama hadis adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh kaidah hadis yang sohih atau hasan, as-Salih, Ibid, h.165 .

[48] al-Khatib,Usul..., h. 306.

[49] As- Suyuti, Tadrib..., Juz I, h.160

[50].Kata mursal adalah bentuk isim maful dari kata arsala yang berarti melepaskan. Hubungannya dengan hadis da’if  adalah seolah-olah sanadnya lepas dari periwayat yang terkenal. At-Tahhan, Taisir..., h. 70. Menurut istilah Muhadditsin, Hadis mursal adalah hadis yang disandarkan oleh tabi’in kepada Nabi, baik perkataan, perbuatan atau taqrir, tanpa menyebutkan sahabat Nabi sebagai periwayat hadis. al-Khatib, Usul..., h. 338

[51]Hadis munqati’ ialah hadis yang sanadnya terputus dari segi manapun. As-Suyuti Tadrib..., h.207-208

[52]Hadis mu’allaq ialah hadis yang periwayat pada awal sanadnya terputus seorang atau lebih secara berturut-turut. At-Tahhan, Tasir..., h. 68.

[53]Hadis mu’dal ialah hadis yang sanadnya terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut. As-Suyuti, Tadrib..., h. 211.

[54] Secara etimologi, tadlis berarti bercampur gelap dan terang. Kata tersebut dikaitkan dengan hadis mudallas karena hadis mudallas mengandung kesamaan dan ketertutupan. Nur al Din ‘Itar, al-Madkhal..., Juz II,h. 166. Hadis Mudallas terbagi 2 macam. Pertama, tadlis al-isnad, yakni seorang periwayat hadis menyatakan telah menerima hadis dari periwayat lain semasa dengannya. Padahal mereka tidak pernah bertemu atau mungkin di antara mereka terjadi pertemuan, akan tetapi di antara mereka tidak ada kegiatan tahmmul wa al-‘ada’. Kedua, tadlis ay-Suyukh, yakni seorang periwayat mengaku menerima hadis dari seorang syaikh hadis, akan tetapi  hanya  salah satu menyebut identitas syaikh yang menyampaikan hadis kepadanya. Abdu al-Ltif, al-Mubtakir..., h. 66. As-Suyuti, Tadrib..., h. 223 – 224.

[55]Hadis mu’an’an ialah hadis yang periwayatnya mengatakan dari fulan.                                   At-Tahhan, Tasyir..., h.86

[56]Hadis mu’annan ialah hadis yang periwayatnya mengatakan haddasana Fulan anna Fulan qala. Ibid, h.87

[57]. Selain kedua syarat tersebut, Malik bin Anas, Ibn ‘Abd al-Barr, dan al-‘Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yaitu para periwayat haruslah orang-orang kepercayaan. As-Salih Mabahis..., h. 222. Ulama hadis mempersoalkan teknis pertemuan tersebut. Baginya yang penting adanya kemungkinan terjadinya liqa’. Itulah yang disebutnya dengan istilah adanya kesezamanan (al-mu’asarah) dan inilah yang disepakati ijma’. Pendapat yang lain mensyaratkan adanya persahabatan yang lama antara periwayat dengan periwayat yang di antarai oleh huruf ‘an terdekat sebelumnya. Muhammad as-Sabbag. Al-Hadis an- Nabawi, Mustalahuhu, Balagatuhu,Ulumuhu, Kutubuhu (Riyad: Mansurat al-Maktab al-Islamiyah, 1972), h.185.

[58] Hadis maudu’ adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw, dengan cara dibuat – buat dan dusta dari apa yang tidak pernah diucapkan, dilakukan atau ditaqrirkan oleh Nabi. Al – Khatib, Usul..., h. 415.

[59] Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tertuduh berdusta (tuhmah bi al-kazib), atau menampakkan kefasiqan dengan perbuatan dan perkataan atau banyak lupa.Ibid., h. 348.

[60] Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang da’if yang bertentangan dengan periwayat yang tsiqah. Ibid, h.348

[61] Hadis mu’allal didefenisikan sebagai hadis yang di dalamnya terdapat ‘illah yang merusak kualitas hadis, meskipun pada lahirnya tampak berkualitas sohih. Ibid. h. 343.

[62] Hadis mudraj  menurut ulama hadis ialah hadis yang di dalamnya terdapat penambahan redaksi pada matan yang berasal dari sanad atau periwayatnya. Ibid, h. 370.

[63] 64Hadis mudtarib ialah hadis yang periwayatnya menyampaikan berbagai hadis yang isinya saling bertentangan dan tidak dapat dikonpirmasikan. As-Salah, Usul..., h.84. as-Suyuti Tadrib..., h. 345

[64] 65Hadis maqlub  ialah hadis yang periwayatnya di dalam menyebut matan atau periwayat lain secara terbalik-balik. Al-Khatib, Usul..., h. 345.

[65] Adapun yang dimaksud dengan hadis Majhul adalah hadis yang identitas diri periwayat atau kondisi periwayat, seperti keutamaan dan kekurangan tidak diketahui atau dikenal oleh kalangan ahli hadis. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kaburnya identitas rawi, antara lain adalah banyaknya identitas yang disandang oleh seorang perwi, sepert namanya, julukannya, atau gelarnya.at-Tahhan Taisir,..., h.118-119.

[66] Hadis syaz ialah hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwatkan orang yang lebih tsiqah at-Tahhan. Ibid. h. 116

[67] Hadis mukhtalif  adalah hadis yang hafalan periwayatnya rusak karena sudah lanjut usia atau mengalami kebutaan, atau hilang daya hafalannya. Ismail, Kaedah..., h. 182.

 

[68]Hasbi ash-Shiddiieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,(Jakarta:Bulan Bintang,1974),h.269-356

No comments: